[catatan akhir] kopdar kemarin
Ya, ada banyak sekali hal yang terjadi dalam kopdar kemarin. Saya tahu Enda mau datang. tahu saya dan mus sudah bilang tidak akan datang. nyatanya saya pergi juga. Bersama nanie, anbhar, ina, made, dan anhie menemani Enda minum sarabba di sungai cerekang.
Apa yang terjadi? Saya sudah tahu ada yang salah. Tawa yang begitu lepas, perasaan yang begitu liar, pasti akan terjadi sesuatu. Itulah feeling saya. Dan memang benar. Kejadiannya selepas sesi minum sarabba itu. Sebelum sampai di warung sarabba, saya sudah diberi tahu oleh beberapa orang bahwa ban motor saya kempes. Saya menganggapnya wajar saja, siapa yang saya bonceng? Enda, dengan bodi yang segede gede arca juga. Apakah itu yang menjadi masalah? Bukan. Tapi pelajaran yang saya dapatkan berikutnya.
Tidak mungkin saya menyuruh Enda ikut dengan saya mencari tukang tambal ban yang saya sendiri tidak tahu, jam 10 malam masih ada yang buka atau tidak. Dan dimana? Walaupun saya yakin Enda akan ikut juga, tapi hey, this is my problem. Dia kan tamu. Jadinya dia balik ke hotel naik taksi. Jadilah saya dengan anhie (ya, anhie!) berjalan menembus lorong demi lorong di merapi untuk mencari tukang tambal ban berdasarkan wangsit yang diberikan oleh tukang parkir di penjual sarabba.
Peluh yang turun, dan perasaan was-was terus mengikuti saya mencari tukang tambal ban. Perkataan yang menghibur diri sendiri terus diucapkan, untuk memberikan sugesti bahwa saya tidak akan mendorong motor sampai di cendrawasih. Ternyata benar. Dekat mesjid di merapi ada tukang tambal ban. Segeralah saya parkir dan duduk manis menunggu motor saya dikerjakan.
Disinilah pelajarannya dimulai. Ada hal yang menarik terdengar dari obrolan selama saya menunggu ban saya ditambal. Sang anak, entah karena alasan apa menyuruh sang ibu untuk pulang saja. Karena tidak ada yang dia bikin di tempat tersebut selain menunggui sang ayah. Katanya percuma saja. Sudah tidak ada gunanya lagi. Dan disaat semua perkataan mereka saling bantah, sang ayah bilang,
“sudah. Kamu pulang saja. Motor itu bisa diisi bensin uangnya dari mana? Kalau saya yang jaga sendiri siapa yang mau bakar besinya?”
Degh. Sebegitu berarti uang bagi mereka. Sang ibu pun mengeluarkan korek untuk membakar tungku yang digunakan untuk press ban. Ya, ini press ban sangat konvensional. Dengan besi yang dipanaskan, yang akan membuat lapisan penempel ban menjadi melekat. Apa yang saya lihat? Bukan kompor minyak tanah, bukan kompor gas, tetapi tungku yang dia gunakan masih menggunakan kayu bakar. Masya Allah. Makanya saya heran, untuk apa penutup di sekitar tungku dia bikin? Rupanya untuk membuat kobaran api dari kayu tidak melebar kemana-mana. Sang ibu senantiasa mengipasi dan menambah kayu sedikit demi sedikit sampai dia rasa sudah cukup panas untuk menaikkan besinya. Asap yang pekat hasil senyawa minyak tanah dan kayu bakar tidak terlalu diperhatikannya. Asalkan besi yang dipanaskan mendapat api yang baik.
Sesetia itukah sang ibu kepada suaminya? Rasanya iya. Dari perkataannya kemudian kepada sang anak,
“kamu pulang saja. Biar saya tmani bapakmu disini.”
Saya masih terus berusaha berbicara dengan anhie. Agar pikiran ini tidak terus mengarah kepada keluarga ini. Sebenarnya bagaimana kehidupan mereka? Mengapa sang bapak, di usia itu masih bekerja? Mengapa ada begitu banyak hal sederhana yang mereka rasa cukup besar?
Mungkin inilah yang ingin ditunjukkan kepadaku malam ini. Karena memang benar, segala kegelisahan yang muncul sedari pagi hilang tidak berbekas. Hanya perasaan lega dan hati yang tertolong yang tersisa. Selama ini saya yang kurang menghargai seberapa besar rupiah yang saya pegang, yang terkadang sehabis mendapat rejeki lupa memberikan bagi mereka yang berhak, terkadang begitu sombong dengan kebahagian semu. Ada begitu banyak bentuk kebahagian diluar sana. Selepas dirumah, saya langsung melihat ke dalam kamar bapak dan mamak. Melihat gurat lelah di wajah mereka, melihat rambut yang mulai memutih di kepala mereka, dan melihat mungkin mereka pun pernah melakukan hal yang sama, berjuang segenap tenaga supaya saya bisa sampai pada titik ini. Saya malu.
Terima kasih kepada Enda Nasution yang sudah datang ke Makassar, dan membuat kopdar sangat dadakan. Saya akhirnya semakin yakin bahwa kita tidak pernah tahu siapa yang kita temui dan pelajaran yang kita dapat. Nanie yang menjebakku ikut. Maaf untuk Mus karena saya meninggalkan kantor. Tetapi ketika saya tidak pergi, saya tidak mungkin mendapatkan pelajaran ini. Dan saya tidak bisa membayangkan “cara lain” yang diberikan Tuhan untuk saya.
Terima kasih.
Apa yang terjadi? Saya sudah tahu ada yang salah. Tawa yang begitu lepas, perasaan yang begitu liar, pasti akan terjadi sesuatu. Itulah feeling saya. Dan memang benar. Kejadiannya selepas sesi minum sarabba itu. Sebelum sampai di warung sarabba, saya sudah diberi tahu oleh beberapa orang bahwa ban motor saya kempes. Saya menganggapnya wajar saja, siapa yang saya bonceng? Enda, dengan bodi yang segede gede arca juga. Apakah itu yang menjadi masalah? Bukan. Tapi pelajaran yang saya dapatkan berikutnya.
Tidak mungkin saya menyuruh Enda ikut dengan saya mencari tukang tambal ban yang saya sendiri tidak tahu, jam 10 malam masih ada yang buka atau tidak. Dan dimana? Walaupun saya yakin Enda akan ikut juga, tapi hey, this is my problem. Dia kan tamu. Jadinya dia balik ke hotel naik taksi. Jadilah saya dengan anhie (ya, anhie!) berjalan menembus lorong demi lorong di merapi untuk mencari tukang tambal ban berdasarkan wangsit yang diberikan oleh tukang parkir di penjual sarabba.
Peluh yang turun, dan perasaan was-was terus mengikuti saya mencari tukang tambal ban. Perkataan yang menghibur diri sendiri terus diucapkan, untuk memberikan sugesti bahwa saya tidak akan mendorong motor sampai di cendrawasih. Ternyata benar. Dekat mesjid di merapi ada tukang tambal ban. Segeralah saya parkir dan duduk manis menunggu motor saya dikerjakan.
Disinilah pelajarannya dimulai. Ada hal yang menarik terdengar dari obrolan selama saya menunggu ban saya ditambal. Sang anak, entah karena alasan apa menyuruh sang ibu untuk pulang saja. Karena tidak ada yang dia bikin di tempat tersebut selain menunggui sang ayah. Katanya percuma saja. Sudah tidak ada gunanya lagi. Dan disaat semua perkataan mereka saling bantah, sang ayah bilang,
“sudah. Kamu pulang saja. Motor itu bisa diisi bensin uangnya dari mana? Kalau saya yang jaga sendiri siapa yang mau bakar besinya?”
Degh. Sebegitu berarti uang bagi mereka. Sang ibu pun mengeluarkan korek untuk membakar tungku yang digunakan untuk press ban. Ya, ini press ban sangat konvensional. Dengan besi yang dipanaskan, yang akan membuat lapisan penempel ban menjadi melekat. Apa yang saya lihat? Bukan kompor minyak tanah, bukan kompor gas, tetapi tungku yang dia gunakan masih menggunakan kayu bakar. Masya Allah. Makanya saya heran, untuk apa penutup di sekitar tungku dia bikin? Rupanya untuk membuat kobaran api dari kayu tidak melebar kemana-mana. Sang ibu senantiasa mengipasi dan menambah kayu sedikit demi sedikit sampai dia rasa sudah cukup panas untuk menaikkan besinya. Asap yang pekat hasil senyawa minyak tanah dan kayu bakar tidak terlalu diperhatikannya. Asalkan besi yang dipanaskan mendapat api yang baik.
Sesetia itukah sang ibu kepada suaminya? Rasanya iya. Dari perkataannya kemudian kepada sang anak,
“kamu pulang saja. Biar saya tmani bapakmu disini.”
Saya masih terus berusaha berbicara dengan anhie. Agar pikiran ini tidak terus mengarah kepada keluarga ini. Sebenarnya bagaimana kehidupan mereka? Mengapa sang bapak, di usia itu masih bekerja? Mengapa ada begitu banyak hal sederhana yang mereka rasa cukup besar?
Mungkin inilah yang ingin ditunjukkan kepadaku malam ini. Karena memang benar, segala kegelisahan yang muncul sedari pagi hilang tidak berbekas. Hanya perasaan lega dan hati yang tertolong yang tersisa. Selama ini saya yang kurang menghargai seberapa besar rupiah yang saya pegang, yang terkadang sehabis mendapat rejeki lupa memberikan bagi mereka yang berhak, terkadang begitu sombong dengan kebahagian semu. Ada begitu banyak bentuk kebahagian diluar sana. Selepas dirumah, saya langsung melihat ke dalam kamar bapak dan mamak. Melihat gurat lelah di wajah mereka, melihat rambut yang mulai memutih di kepala mereka, dan melihat mungkin mereka pun pernah melakukan hal yang sama, berjuang segenap tenaga supaya saya bisa sampai pada titik ini. Saya malu.
Terima kasih kepada Enda Nasution yang sudah datang ke Makassar, dan membuat kopdar sangat dadakan. Saya akhirnya semakin yakin bahwa kita tidak pernah tahu siapa yang kita temui dan pelajaran yang kita dapat. Nanie yang menjebakku ikut. Maaf untuk Mus karena saya meninggalkan kantor. Tetapi ketika saya tidak pergi, saya tidak mungkin mendapatkan pelajaran ini. Dan saya tidak bisa membayangkan “cara lain” yang diberikan Tuhan untuk saya.
Terima kasih.
Label: renungan
posted by The Drama King @ 20.55, ,